Thursday, February 18, 2010

SUATU WAKTU DATANG BERITA DUKA


“Aku ingin pergi jauh dari kehidupanku sekarang ini, pergi entah kemana, dimana dunia yang begitu bebas dan tanpa beban menantiku. Mendung yang selalu terselubung dalam hatiku, selalu saja menampakan kegundahan dipikiranku. Brangkali Tuhan memiliki arti lain ketika menciptakanku.”
Di sebuah sudut kota kecil di utara Jogja, aku tinggal dalam rumah sederhana beratapkan genteng bata yang sudah usang warnanya, hanya hitam dan merah kusam. Keinginanku untuk pergi dari tempat itu, didasari pada kebosanan yang seringkali menyeruak di hari-hariku dalam menjalani kehidupan di sini. Entah mungkin karena hidupku yang berdua saja dengan bunda yang sudah tua atau barangkali karena telah hilang rasa baktiku padanya. Pernah dulu suatu waktu, aku ingin pergi merantau ke Jakarta, tapi melihat ibuku yang sebatangkara, tak kuasa juga hati ini meninggalkannya. Teringat pula saat aku remaja dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah kejuruan, ketika bapakku menikah lagi dan akhirnya mati, aku sungguh tidak peduli. Cukup sekali aku melihat raut muka kekecawaan yang begitu dalam pada ibuku, ketika pria bangsat itu meninggalkan ibuku dan menikah lagi dengan pelacur itu. Dan akirnya bapakku mati, kata orang dia bunuh diri, tapi belum sempat aku melihat mayatnya, bahkan kuburannya tak sudi aku mendatanginya. Kini hanya ibuku saja yang aku punya, begitu pula ibuku, dia hanya memiliki seorang anak, aku.
Pagi itu pintu rumahku sudah terbuka lebar, tapi aku rasa mataharipun belum sempat beranjak dari persembunyiannya. Lantas akupun tidak terburu-buru bangun, aku melihat jam, ternyata masih pukul lima pagi. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi langkah seseorang berlari dan sambil berteriak.
‘Tole-tole cepat keluar! Ayo keluar coba lihat!”
Oh.. aku tahu, pasti itu suara ibuku. Dengan malas akupun pergi keluar,
“ada apa bu,…?”
“tole coba lihat ke sini, ini ada surat kalau tidak salah dari pamanmu di Jakarta, coba kamu bacakan buat ibu..”
Lalu kuraih surat itu dan aku sempat membacanya dalam hati. Namun kemudian, kekecewaan muncul di wajahku, berbagai pertanyaan dan keresahan muncul dalam pikirannku, dan kemudaian aku langsung memeluk ibuku. Dan akupun kemudian menangis.
“ada apa le.? Kenapa kamu menangis? Apa isi surat itu? Gimana pamanmu?”
Dengan terisak dan penuh air mata, bibirku terasa bergetar ketika mengucapkan kalimat itu,
“ bu,… paman meninggal minggu lalu..”
Ibuku langsung terkulai lemas dan tertunduk membisu, hanya tanah kering yang ia pandangi. Barangkali, telah habis air mata ibuku dengan penderitaan yang telah ia alami selama ini. Tanpa setetes air mata yang mengalir. Aku tahu, pamanku ini adalah adik satu-satunya ibuku, satu-satunya keluarga terdekat yang ia punya selain aku. Sesaat kemudian ibu bangkit dan menuju ke dapur, akupun mengikutinya, takut-takut kalau terjadi sesuatu pada ibuku tersayang.
“tole kamu mau makan apa?”
Tiba-tiba dia bertanya dngan nada datar, aku tidak menjwab, aku hanya membalikkan badan dan menuju kamarku. Langit-langit kamar begitu usang, barangkali sama seperti pikiranku. Aku tidak mengerti apa yang diinginkan Tuhan, aku hanya berharap dari semua kejadian yang aku dan ibuku alami, semoga memili hikmah yang besar.
hari demi hari setelah berita duka itu dating, aku lihat ibuku tiada perubahan, dia seperti biasa saja. Tidak ada yang aneh dalam tingkah lakunya, hanya seperti biasanya saja. Mungkin ia menganggap berita duka hanyalah suatu kerikil dalam jalan hidupnya, yang mengganggu jika menginjakkan. Dan ibuku merasa dia tidak menginjak kerikil itu.

by : Panji Asmoro Bagun

No comments:

Post a Comment